Oleh:Manusia Hening
"Kisah sebagian Mereka terhadap Jejaring HMI, PMII, Hima Persis, IMM, KAMMI, dan GMNI setelah Keluar Kampus"
Dulu, saat berada di kampus, mereka dikenal sebagai sosok yang cukup cerdas, aktif di kelas, bahkan rajin ikut seminar, dan bergelut di komunitas-komunitas kecil di tingkat prodi, fakultas dan universitas. Tapi satu hal yang melekat kuat pada mereka, "antiorganisasi ekstra".
Bagi mereka saat masih kuliah, organisasi ekstra hanya penuh intrik, debat ideologis yang membingungkan, dan romantisme sejarah yang tak relevan dengan masa kini. Mereka bahkan sering mengajak teman-temannya menjauh dari organisasi-organisasi itu. Katanya, “Buat apa capek-capek ikut HMI, PMII, Hima Persis, IMM, KAMMI, atau GMNI? Nggak ada gunanya. Lebih baik kita bangun jejaring di komunitas prodi, itu lebih realistis.”
Dan waktu pun berjalan. Kampus ditinggalkan, toga dikenakan, wisuda berlalu, dan lembaran baru kehidupan dimulai. Mereka melangkah ke dunia luar, ke belantara kehidupan sosial, ekonomi, politik dan profesional yang luas. Dunia nyata, katanya.
Lalu sebuah fakta terungkapi. Setiap melangkah, mencari peluang kehidupan, baik ruang ekonomi, politik dan profesional, bahkan sekadar nongkrong di ruang-ruang diskusi publik, selalu bertemu dengan mereka yang lahir dari pengkaderan organ ekstra, yang dulu sempat diabaikan dan bahkan dibencinya. Mereka, kanda HMI, Sahabat PMII, Akhi Hima Persis, Kaka IMM, Abanda KAMMI, dan Bung GMNI.
Seolah dunia ini sempit. Ke mana pun pergi, di lorong-lorong peluang hidup itu, selalu bertemu dengan alumni organisasi ekstra. Mereka mulai heran, kok bisa?
Mereka baru sadar, ternyata selama ini jaringan kaderisasi organisasi-organisasi ekstra itu sudah mengakar dan menyebar luas. Mereka bukan sekadar “anak organisasi kampus,” tapi merupakan alumni kehidupan yang pernah magang di laboratorium kerasnya dunia organisasi.
Mereka terbiasa bersuara di forum, beradu gagasan, menyusun strategi, memimpin rapat, menyelesaikan konflik, mengelola acara, bernegosiasi dengan birokrasi, hingga menulis wacana di media. Pengalaman itu tak tercatat di transkrip nilai, tapi nyata mereka bawa dalam kehiidupan.
Mereka merenung, dulu mungkin terlalu yakin. Terlalu cepat menghakimi. Terlalu sombong merasa bisa sendiri tanpa jejaring yang lebih besar. Sehingga punya pandangan miring terhadap keberadaan organisasi-organisasi ekstra di kampus. Lupa bahwa sejarah perjuangan dan pengkaderan setiap organisasi ekstra sudah melampaui beberapa era, "mulai dari era kemerdekaan, era orde lama, orde baru, orde reformasi, sampai era sekarang". Dan sudah berjejaring melampaui batas-batas teritorial, mulai lokal, regional, nasional dan internasional.
Ya, dalam hati mereka. Setiap organisasi ekstra memang tidak sempurna. Bahkan penuh dengan dinamika, kadang melelahkan, kadang menyesakkan. Tapi, ada satu hal yang harus diakui setelah menjasi alumni kamous, "di sanalah tempat magang kehidupan itu sesungguhnya terjadi."
Organisasi ekstra adalah tempat menempa. Tempat bertumbuh. Tempat di mana kepemimpinan diuji, ide dilontarkan, softskill diasah, ego dibenturkan, dan keberanian dibentuk. Tempat belajar bukan sekadar menjadi mahasiswa, tapi menjadi manusia yang harus hidup dan berkembang maju.
Lirih bathin terdalam mereka teruntuk generasi yang masih di kampus, kisah ini ingin berkata:
"Organisasi ekstra itu bukan satu-satunya jalan, tapi ia adalah jalan yang telah teruji. Jangan pernah terlalu cepat menganggapnya tidak penting. Siapa tahu, besok atau lusa, kamu akan butuh pundak-pundaknya. Sebab, harus diakui bahwa kader-kader di organisasi ekstra, jejaringnya luas dan sangat membumi dalam setiap lorong-lorong kehidupan ekonomi, politik, birokrasi dan dunia profesional.
#Manusia Hening#Kiprah panjang organisasi ekstra tidak bisa dihapus jejaknya dalam catatan sejarah pembangunan Indonesia#