Oleh : H.S. Miharja,
Ph.D
Inābah
merupakan sikap spiritual untuk kembali kepada Allah dengan penuh kesadaran,
cinta, dan penyerahan diri. Konsep ini memiliki relevansi kuat dalam religi karena mampu membimbing individu dalam
krisis menuju penyembuhan batin dan ketenangan spiritual. Lebih dari itu,
nilai-nilai inābah ternyata selaras dengan sejumlah teori psikologi modern
seperti psikologi humanistik, eksistensial, dan transpersonal.
Perjalanan
batin manusia seringkali diwarnai oleh pergolakan jiwa, kekecewaan, rasa
bersalah, bahkan krisis makna. Dalam kondisi tersebut, banyak individu mencari
penopang batin yang kokoh tidak hanya dari aspek rasional, tetapi juga
spiritual. Konseling religi muncul sebagai pendekatan yang mengintegrasikan
dimensi psikologis dan spiritual, menawarkan penyembuhan yang utuh. Salah satu
prinsip penting yang dapat menjadi fondasi adalah inābah, yaitu kembalinya hati
kepada Allah dengan cinta, takut, harap, dan penyerahan total.
Makna Inābah
Secara
bahasa, inābah berasal dari akar kata naaba, yanuubu yang berarti kembali.
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk ber-inābah,
yaitu kembali kepada-Nya secara sadar dan ikhlas. Para sufi memaknai inābah
sebagai maqām ruhani, lebih tinggi daripada taubat, karena melibatkan kehadiran
hati, cinta kepada Allah, serta pemutusan ketergantungan dari selain-Nya.
Inābah
adalah bentuk kesadaran ruhani di mana seorang hamba menyadari kelemahan
dirinya, lalu memutuskan untuk sepenuhnya bergantung kepada Allah. Ini menjadi
landasan utama dalam proses pembinaan diri dalam dunia tasawuf. Seorang salik
tidak hanya menyesali dosa, tetapi juga membentuk kembali orientasi hidupnya
agar sepenuhnya berporos pada kehendak dan keridhaan Allah.
Kaitan Inābah dalam
Teori Psikologi
Meskipun
istilah inābah bersumber dari tradisi Islam, esensinya selaras dengan beberapa
teori psikologi yang berorientasi pada transformasi kejiwaan, terutama
psikologi humanistik, eksistensial, dan transpersonal.
Psikologi Humanistik
(Carl Rogers, Abraham Maslow).
Teori
ini menekankan pertumbuhan dan aktualisasi diri manusia. Maslow mengemukakan
konsep self-actualization, yaitu pencapaian potensi tertinggi individu. Dalam
inābah, aktualisasi diri bukan sekadar keberhasilan duniawi, tetapi
keterhubungan dengan Allah sebagai bentuk puncak eksistensi diri. Sementara
Carl Rogers berbicara tentang “pribadi yang berfungsi penuh” (fully functioning
person), inābah menawarkan kerangka menuju pribadi yang sadar, bertanggung
jawab, dan hidup dalam keautentikan spiritual.
Psikologi Eksistensial
(Viktor Frankl).
Frankl
menekankan pentingnya makna hidup dalam penyembuhan. Menurutnya, krisis
psikologis sering terjadi karena kehampaan eksistensial (existential vacuum).
Inābah merupakan bentuk pencarian dan penemuan makna hidup secara spiritual.
Seseorang yang ber-inābah tidak hidup dalam kekosongan, tetapi sadar bahwa
hidup adalah perjalanan kembali kepada Allah. Dengan demikian, inābah menjawab
kebutuhan eksistensial manusia dengan nilai-nilai ilahiah.
Psikologi Transpersonal
(Ken Wilber, Stanislav Grof).
Psikologi
ini berfokus pada pengalaman spiritual dan dimensi kesadaran yang melampaui
ego. Dalam inābah, seorang hamba melepaskan egonya (nafsu) dan menyadari
kehadiran Tuhan secara intim. Praktik inābah sejalan dengan terapi
transpersonal seperti meditasi, kontemplasi, atau pembersihan jiwa. Dalam hal
ini, dzikir dan muraqabah dalam tasawuf adalah bentuk praktik spiritual yang
menuntun ke kesadaran transpersonal.
Cognitive Therapy dan
Mindfulness.
Konsep
inābah juga dapat dipahami sebagai bentuk realignment kognitif, yakni penataan
ulang cara pandang individu terhadap hidup dan nilai-nilai. Dalam konseling
kognitif, seseorang diajak menyadari distorsi pikiran. Demikian pula dalam
inābah, konseli diajak menyadari bahwa sumber keresahan adalah keterputusan
dari Allah, dan solusinya adalah menyambung kembali relasi vertikal ini secara
sadar. Dzikir dalam inābah juga sejalan dengan praktik mindfulness dalam
psikologi barat, yang menekankan kesadaran murni terhadap saat ini.
Penutup
Inābah
dalam tasawuf merupakan prinsip yang sangat kuat dalam membangun spiritualitas
seseorang. Ia tidak hanya menawarkan pertobatan, tetapi juga menjadi jalan
transformasi jiwa menuju kedamaian yang sejati. Dalam konteks konseling religi,
inābah menjadi pendekatan yang efektif untuk menyentuh kedalaman batin konseli,
membantunya kembali kepada Tuhan, dan memulihkan makna hidupnya. Menariknya,
inābah juga sejalan dengan berbagai teori psikologi modern yang menekankan
pentingnya kesadaran, makna hidup, dan hubungan dengan sesuatu yang transenden.
Integrasi
antara ajaran tasawuf dan pendekatan psikologi membuka jalan baru dalam praktik
konseling yang tidak hanya menyembuhkan luka psikis, tetapi juga membangun
ketahanan spiritual. Inābah menjadi jembatan antara ilmu jiwa dan nilai-nilai
Ilahiyah yang sangat dibutuhkan manusia modern.