menu melayang

Minggu, 02 Maret 2025

TAWAJUH DUDUK IFTIROSI MENGHADAP KIBLAT DALAM DZIKIR DAN DOA


Oleh: H. Sugandi Miharja, Ph.D

Duduk iftirosi merupakan salah satu posisi dalam salat yang memiliki makna mendalam dalam Islam. Selain dalam tasyahud, posisi ini juga dapat diterapkan dalam dzikir dan doa sebelum serta sesudah salat. Posisi duduk ini tidak hanya menunjukkan ketundukan secara fisik, tetapi juga mencerminkan aspek psikologis dan spiritual dalam ibadah. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis duduk iftirosi dalam dzikir dan doa dari perspektif dalil syariat serta teori kematangan spiritual dalam psikologi Islam.

Anjuran Menghadap Kiblat dalam Doa

Menghadap kiblat saat berdoa merupakan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Sebagaimana dalam hadis:

 إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَ لْيَرْفَعْ يَدَيْهِ

"Jika salah seorang di antara kalian berdoa, hendaklah ia menghadap kiblat dan mengangkat tangannya." (HR. Abu Dawud No. 1778, dinilai hasan oleh Al-Albani). Hadis ini menunjukkan bahwa menghadap kiblat dalam berdoa memiliki keutamaan tersendiri, yang mencerminkan orientasi hati dan fisik seorang Muslim kepada Allah. Duduk iftirosi dalam keadaan menghadap kiblat saat berdzikir dan berdoa memberikan nilai lebih dalam mencapai kekhusyukan.

Ketundukan dan Kesadaran dalam Duduk Iftirosi

Ketundukan dalam ibadah menjadi aspek penting dalam mencapai kedekatan dengan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

 أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

"Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah doa." (HR. Muslim No. 482). Walaupun hadis ini menekankan sujud, duduk iftirosi setelah salat juga merupakan kondisi yang mendukung refleksi dan kedekatan dengan Allah. Dalam posisi ini, seorang Muslim dapat bermunajat dengan lebih tenang dan penuh kesadaran spiritual.

Ketenangan dan Kekhusyukan

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

 قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ۝ ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ

"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya." (QS. Al-Mu’minun: 1-2)

Duduk iftirosi setelah salat membantu menjaga kekhusyukan yang telah dibangun selama ibadah, memungkinkan seseorang untuk lebih mendalam dalam refleksi spiritual.

Kematangan Spiritual dalam Perspektif Psikologi Islam

Kematangan spiritual dapat didefinisikan sebagai tingkat kedewasaan seseorang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, baik dalam hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia. Duduk iftirosi dalam dzikir dan doa mencerminkan beberapa aspek penting dari kematangan spiritual.

Kesadaran transendental merujuk pada pemahaman mendalam tentang keberadaan Tuhan dan keterhubungan manusia dengan-Nya. Dalam duduk iftirosi, seseorang dapat lebih fokus dalam dzikir dan doa, meningkatkan kesadaran akan kebesaran Allah dan hakikat hidup sebagai seorang hamba.

Ketenangan dan Kehadiran Diri (Mindfulness Spiritual) dalam psikologi Islam, konsep khudur (kehadiran hati) adalah elemen penting dalam ibadah. Duduk iftirosi membantu seseorang mencapai kondisi ini dengan memberikan ruang untuk merenung dan memperdalam koneksi dengan Allah.

Duduk dalam posisi rendah dan khusyuk mengingatkan seseorang akan kefanaan dunia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu tanda kematangan spiritual adalah kesadaran akan kehidupan akhirat. Duduk iftirosi menjadi simbol refleksi diri terhadap perjalanan hidup dan persiapan menuju kematian.

Keseimbangan Antara Dunia dan Akhirat, dalam Islam, keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat adalah salah satu tanda kematangan iman. Duduk iftirosi setelah salat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menata niat dan menguatkan komitmen dalam menjalani kehidupan yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama.

Penutup

Duduk iftirosi dalam dzikir dan doa sebelum serta sesudah salat bukan hanya sekadar posisi tubuh, tetapi memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Dari perspektif dalil syariat, duduk iftirosi mencerminkan ketundukan, kekhusyukan, dan kesadaran dalam beribadah. Dari sudut pandang psikologi Islam, praktik ini dapat dikaitkan dengan teori kematangan spiritual, yang mencakup kesadaran transendental, mindfulness spiritual, refleksi terhadap akhirat, dan keseimbangan hidup. Dengan demikian, duduk iftirosi bukan hanya bagian dari ritual ibadah, tetapi juga sarana untuk mencapai kedalaman spiritual dan ketenangan batin.

 

 

 

*) Pengurus Yayasan Merah Putih, Yayasan Sinar Mutiara Islam, Yayasan An-Nash Garut, Yayasan Titian Umat.


Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel