Oleh: H. Sugandi
Miharja, Ph.D
Duduk iftirosi
merupakan salah satu posisi dalam salat yang memiliki makna mendalam dalam
Islam. Selain dalam tasyahud, posisi ini juga dapat diterapkan dalam dzikir dan
doa sebelum serta sesudah salat. Posisi duduk ini tidak hanya menunjukkan
ketundukan secara fisik, tetapi juga mencerminkan aspek psikologis dan
spiritual dalam ibadah. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis duduk iftirosi
dalam dzikir dan doa dari perspektif dalil syariat serta teori kematangan spiritual
dalam psikologi Islam.
Anjuran Menghadap
Kiblat dalam Doa
Menghadap kiblat saat
berdoa merupakan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Sebagaimana dalam
hadis:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ
وَ لْيَرْفَعْ يَدَيْهِ
"Jika salah
seorang di antara kalian berdoa, hendaklah ia menghadap kiblat dan mengangkat
tangannya." (HR. Abu Dawud No. 1778, dinilai hasan oleh Al-Albani). Hadis
ini menunjukkan bahwa menghadap kiblat dalam berdoa memiliki keutamaan
tersendiri, yang mencerminkan orientasi hati dan fisik seorang Muslim kepada
Allah. Duduk iftirosi dalam keadaan menghadap kiblat saat berdzikir dan berdoa
memberikan nilai lebih dalam mencapai kekhusyukan.
Ketundukan dan
Kesadaran dalam Duduk Iftirosi
Ketundukan dalam ibadah
menjadi aspek penting dalam mencapai kedekatan dengan Allah. Rasulullah ﷺ
bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ
سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Keadaan seorang
hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud, maka
perbanyaklah doa." (HR. Muslim No. 482). Walaupun hadis ini menekankan
sujud, duduk iftirosi setelah salat juga merupakan kondisi yang mendukung
refleksi dan kedekatan dengan Allah. Dalam posisi ini, seorang Muslim dapat
bermunajat dengan lebih tenang dan penuh kesadaran spiritual.
Ketenangan dan
Kekhusyukan
Allah ﷻ berfirman dalam
Al-Qur’an:
قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ هُمْ فِى
صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ
"Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya."
(QS. Al-Mu’minun: 1-2)
Duduk iftirosi setelah
salat membantu menjaga kekhusyukan yang telah dibangun selama ibadah,
memungkinkan seseorang untuk lebih mendalam dalam refleksi spiritual.
Kematangan Spiritual dalam
Perspektif Psikologi Islam
Kematangan spiritual
dapat didefinisikan sebagai tingkat kedewasaan seseorang dalam memahami dan
mengamalkan ajaran agama, baik dalam hubungan dengan Tuhan, diri sendiri,
maupun sesama manusia. Duduk iftirosi dalam dzikir dan doa mencerminkan
beberapa aspek penting dari kematangan spiritual.
Kesadaran transendental
merujuk pada pemahaman mendalam tentang keberadaan Tuhan dan keterhubungan
manusia dengan-Nya. Dalam duduk iftirosi, seseorang dapat lebih fokus dalam
dzikir dan doa, meningkatkan kesadaran akan kebesaran Allah dan hakikat hidup
sebagai seorang hamba.
Ketenangan dan
Kehadiran Diri (Mindfulness Spiritual) dalam psikologi Islam, konsep khudur
(kehadiran hati) adalah elemen penting dalam ibadah. Duduk iftirosi membantu
seseorang mencapai kondisi ini dengan memberikan ruang untuk merenung dan memperdalam
koneksi dengan Allah.
Duduk dalam posisi
rendah dan khusyuk mengingatkan seseorang akan kefanaan dunia. Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu tanda kematangan spiritual
adalah kesadaran akan kehidupan akhirat. Duduk iftirosi menjadi simbol refleksi
diri terhadap perjalanan hidup dan persiapan menuju kematian.
Keseimbangan Antara
Dunia dan Akhirat, dalam Islam, keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat
adalah salah satu tanda kematangan iman. Duduk iftirosi setelah salat
memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menata niat dan menguatkan komitmen
dalam menjalani kehidupan yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama.
Penutup
Duduk iftirosi dalam
dzikir dan doa sebelum serta sesudah salat bukan hanya sekadar posisi tubuh,
tetapi memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Dari perspektif dalil syariat,
duduk iftirosi mencerminkan ketundukan, kekhusyukan, dan kesadaran dalam
beribadah. Dari sudut pandang psikologi Islam, praktik ini dapat dikaitkan
dengan teori kematangan spiritual, yang mencakup kesadaran transendental,
mindfulness spiritual, refleksi terhadap akhirat, dan keseimbangan hidup.
Dengan demikian, duduk iftirosi bukan hanya bagian dari ritual ibadah, tetapi
juga sarana untuk mencapai kedalaman spiritual dan ketenangan batin.
*) Pengurus Yayasan
Merah Putih, Yayasan Sinar Mutiara Islam, Yayasan An-Nash Garut, Yayasan Titian
Umat.