Oleh: H.S. Miharja,
Ph.D
Dalam budaya Sunda,
dikenal sebuah istilah yang cukup unik dan sarat makna, yaitu ngabedug. Istilah
ini bukan sekadar menunjuk pada aktivitas bekerja, melainkan sebuah pola hidup
yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Ngabedug berarti
bekerja sejak pagi hingga menjelang waktu dhuhur, lalu berhenti untuk
beristirahat, melakukan ibadah, dan memberi kesempatan bagi tubuh untuk kembali
segar. Pola ini mencerminkan kearifan lokal orang Sunda dalam menata
keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara jasmani dan rohani, antara
pribadi dan sosial.
Pada pagi hari,
masyarakat Sunda terbiasa bangun lebih awal, menyambut fajar dengan semangat dan
doa. Setelah shalat subuh, mereka berangkat bekerja di ladang, sawah, atau
pasar. Aktivitas ini dilakukan hingga mendekati waktu dhuhur.
Saat matahari meninggi
dan tenaga mulai berkurang, pekerjaan ditutup dengan rasa syukur. Inilah yang
disebut ngabedug bekerja secukupnya, bukan memforsir diri hingga melupakan
kewajiban lain.
Tradisi ini sejalan
dengan prinsip Islam yang menegaskan pentingnya keseimbangan. Rasulullah ﷺ
mengingatkan: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu” (HR. Bukhari).
Setelah bekerja, orang
Sunda mengambil jeda istirahat. Ada yang tidur siang sebentar, ada pula yang
sekadar duduk santai sambil berbincang dengan keluarga.
Istilah kailulah atau
tidur siang ini juga dikenal dalam sunnah Nabi, karena memberikan manfaat besar
bagi kesehatan tubuh dan kejernihan pikiran. Dalam sains modern, tidur siang
singkat terbukti membantu meningkatkan daya konsentrasi, memperbaiki memori,
dan mengurangi stres. Dengan demikian, pola hidup ngabedug sekaligus
menunjukkan kebijaksanaan dalam merawat kesehatan.
Memasuki sore,
masyarakat kembali beraktivitas ringan. Banyak di antara mereka yang mengurus
hobi beternak ayam, kambing, atau ikan. Ada pula yang menyiram tanaman di
pekarangan atau sekadar berjalan ke rumah tetangga. Kegiatan sore bukan sekadar
untuk hiburan, tetapi juga mempererat hubungan sosial. Di sini nilai kearifan
lokal Sunda yang terkenal dengan prinsip silih asih, silih asah, silih asuh
sangat terasa saling menyayangi, saling mengingatkan, dan saling membimbing.
Maghrib tiba, suasana
desa berubah hening. Bedug masjid dipukul, anak-anak bergegas ke langgar, orang
dewasa memenuhi saf masjid. Shalat magrib dan isya berjamaah menjadi puncak
spiritualitas harian.
Di sinilah ngabedug
menemukan makna terdalamnya bekerja bukan hanya untuk perut, tetapi juga untuk
makrifat. Setelah ibadah, ada kebersamaan yang lahir, obrolan ringan di beranda
masjid, bahkan musyawarah kecil tentang kebutuhan warga.
Dari sisi kesehatan,
ngabedug menciptakan keseimbangan biologis. Pekerjaan fisik di pagi hari
mengoptimalkan tenaga tubuh ketika metabolisme sedang aktif. Istirahat siang
membantu pemulihan energi. Aktivitas sore yang ringan berfungsi sebagai
olahraga alami, sementara ibadah shalat dengan rukuk dan sujud menjadi terapi
fisik sekaligus mental. Semua ini memperlihatkan bahwa tradisi Sunda tidak
hanya bernilai budaya dan religi, tetapi juga memiliki dasar ilmiah yang
menguatkan.
Lebih jauh lagi,
ngabedug mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menjadi budak pekerjaan.
Kehidupan harus dilihat sebagai rangkaian siklus yang harmonis bekerja,
beristirahat, bersosialisasi, dan beribadah. Inilah filosofi hidup Sunda yang
menolak keserakahan, mengajarkan kesederhanaan, dan mengutamakan kebersamaan.
Dalam konteks modern,
ngabedug bisa menjadi inspirasi untuk melawan gaya hidup serba cepat yang
seringkali membuat manusia lupa akan tubuhnya, keluarganya, bahkan Tuhannya.
Dengan demikian,
ngabedug bukan sekadar istilah kerja, melainkan sebuah pandangan hidup. Ia
adalah cermin dari nilai Islam yang menekankan keseimbangan (tawazun), cermin
dari budaya Sunda yang menjunjung tinggi kebersamaan, dan cermin dari kesadaran
kesehatan yang menghargai tubuh sebagai amanah. Pola hidup ini membentuk
masyarakat yang sehat, religius, dan harmonis.
Maka, ketika orang
Sunda berkata dirinya sedang ngabedug, sesungguhnya ia sedang menjalani laku
hidup yang teratur, bekerja secukupnya, beristirahat seperlunya, bersosialisasi
dengan tulus, dan beribadah dengan khusyuk. Inilah harmoni yang membuat budaya
Sunda tetap lestari, meski zaman terus berubah.
*) Dosen Pascasarjana
UIN Bandung