menu melayang

Selasa, 30 September 2025

NGABEDUG DALAM BUDAYA-RELIGI SUNDA

 



Oleh: H.S. Miharja, Ph.D

 

Dalam budaya Sunda, dikenal sebuah istilah yang cukup unik dan sarat makna, yaitu ngabedug. Istilah ini bukan sekadar menunjuk pada aktivitas bekerja, melainkan sebuah pola hidup yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

 

Ngabedug berarti bekerja sejak pagi hingga menjelang waktu dhuhur, lalu berhenti untuk beristirahat, melakukan ibadah, dan memberi kesempatan bagi tubuh untuk kembali segar. Pola ini mencerminkan kearifan lokal orang Sunda dalam menata keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara jasmani dan rohani, antara pribadi dan sosial.

 

Pada pagi hari, masyarakat Sunda terbiasa bangun lebih awal, menyambut fajar dengan semangat dan doa. Setelah shalat subuh, mereka berangkat bekerja di ladang, sawah, atau pasar. Aktivitas ini dilakukan hingga mendekati waktu dhuhur.

 

Saat matahari meninggi dan tenaga mulai berkurang, pekerjaan ditutup dengan rasa syukur. Inilah yang disebut ngabedug bekerja secukupnya, bukan memforsir diri hingga melupakan kewajiban lain.

 

Tradisi ini sejalan dengan prinsip Islam yang menegaskan pentingnya keseimbangan. Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu” (HR. Bukhari).

 

Setelah bekerja, orang Sunda mengambil jeda istirahat. Ada yang tidur siang sebentar, ada pula yang sekadar duduk santai sambil berbincang dengan keluarga.

 

Istilah kailulah atau tidur siang ini juga dikenal dalam sunnah Nabi, karena memberikan manfaat besar bagi kesehatan tubuh dan kejernihan pikiran. Dalam sains modern, tidur siang singkat terbukti membantu meningkatkan daya konsentrasi, memperbaiki memori, dan mengurangi stres. Dengan demikian, pola hidup ngabedug sekaligus menunjukkan kebijaksanaan dalam merawat kesehatan.

 

Memasuki sore, masyarakat kembali beraktivitas ringan. Banyak di antara mereka yang mengurus hobi beternak ayam, kambing, atau ikan. Ada pula yang menyiram tanaman di pekarangan atau sekadar berjalan ke rumah tetangga. Kegiatan sore bukan sekadar untuk hiburan, tetapi juga mempererat hubungan sosial. Di sini nilai kearifan lokal Sunda yang terkenal dengan prinsip silih asih, silih asah, silih asuh sangat terasa saling menyayangi, saling mengingatkan, dan saling membimbing.

 

Maghrib tiba, suasana desa berubah hening. Bedug masjid dipukul, anak-anak bergegas ke langgar, orang dewasa memenuhi saf masjid. Shalat magrib dan isya berjamaah menjadi puncak spiritualitas harian.

 

Di sinilah ngabedug menemukan makna terdalamnya bekerja bukan hanya untuk perut, tetapi juga untuk makrifat. Setelah ibadah, ada kebersamaan yang lahir, obrolan ringan di beranda masjid, bahkan musyawarah kecil tentang kebutuhan warga.

 

Dari sisi kesehatan, ngabedug menciptakan keseimbangan biologis. Pekerjaan fisik di pagi hari mengoptimalkan tenaga tubuh ketika metabolisme sedang aktif. Istirahat siang membantu pemulihan energi. Aktivitas sore yang ringan berfungsi sebagai olahraga alami, sementara ibadah shalat dengan rukuk dan sujud menjadi terapi fisik sekaligus mental. Semua ini memperlihatkan bahwa tradisi Sunda tidak hanya bernilai budaya dan religi, tetapi juga memiliki dasar ilmiah yang menguatkan.

 

Lebih jauh lagi, ngabedug mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menjadi budak pekerjaan. Kehidupan harus dilihat sebagai rangkaian siklus yang harmonis bekerja, beristirahat, bersosialisasi, dan beribadah. Inilah filosofi hidup Sunda yang menolak keserakahan, mengajarkan kesederhanaan, dan mengutamakan kebersamaan.

 

Dalam konteks modern, ngabedug bisa menjadi inspirasi untuk melawan gaya hidup serba cepat yang seringkali membuat manusia lupa akan tubuhnya, keluarganya, bahkan Tuhannya.

 

Dengan demikian, ngabedug bukan sekadar istilah kerja, melainkan sebuah pandangan hidup. Ia adalah cermin dari nilai Islam yang menekankan keseimbangan (tawazun), cermin dari budaya Sunda yang menjunjung tinggi kebersamaan, dan cermin dari kesadaran kesehatan yang menghargai tubuh sebagai amanah. Pola hidup ini membentuk masyarakat yang sehat, religius, dan harmonis.

 

Maka, ketika orang Sunda berkata dirinya sedang ngabedug, sesungguhnya ia sedang menjalani laku hidup yang teratur, bekerja secukupnya, beristirahat seperlunya, bersosialisasi dengan tulus, dan beribadah dengan khusyuk. Inilah harmoni yang membuat budaya Sunda tetap lestari, meski zaman terus berubah.

 

*) Dosen Pascasarjana UIN Bandung

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel