menu melayang

Jumat, 07 Februari 2025

Hikayat Pengembara

Prolog:

Di kaki gunung yang menjulang megah, hiduplah seorang pengembara bernama Arsal. Sejak kecil, ia dikenal sebagai jiwa yang tak betah menetap. Desir angin, gemericik sungai, dan nyanyian burung selalu memanggilnya untuk pergi lebih jauh.

Suatu pagi, dengan sebatang tongkat kayu dan kain selempang berisi bekal, Arsal meninggalkan desanya. Langkahnya mantap meski jalannya terjal. "Hidup ini bukan tentang tiba di tujuan," katanya pada dirinya sendiri, "tapi tentang makna yang kudapat di sepanjang perjalanan."

Hari pertama, hujan mengguyur tanpa ampun. Arsal berlindung di bawah rindang pohon besar. "Mengapa hujan tak bersahabat?" keluhnya, menggigil. Namun, saat menatap rintik yang jatuh ke tanah, ia melihat betapa air itu menyuburkan rerumputan yang layu. Hujan bukan musuh, pikirnya, melainkan anugerah yang datang dengan caranya sendiri.

Esoknya, ia tiba di sebuah padang luas. Angin bertiup lembut membawa aroma tanah. Di kejauhan, ia melihat senja yang perlahan menyelimuti langit dengan jingga yang indah. Arsal berhenti dan duduk di atas batu besar. "Senja selalu mengingatkanku," gumamnya, "bahwa semua hal, termasuk perjalanan, punya akhir yang indah jika kita bersyukur."

Di tengah perjalanan, Arsal bertemu banyak jiwa: seorang petani tua yang mengajarinya tentang ketekunan, seorang ibu penenun yang menunjukkan makna keikhlasan, dan seorang bocah kecil yang mengajarkan tawa meski hidup sederhana.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Arsal akhirnya kembali ke desanya. Rambutnya yang hitam kini memutih, namun matanya masih penuh cahaya. "Apa yang kau temukan dalam perjalananmu?" tanya seorang pemuda yang penasaran.

Arsal tersenyum bijak. "Aku menemukan bahwa hidup bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi bagaimana kita belajar dari setiap hujan dan menikmati setiap senja."

Dan sejak saat itu, nama Arsal dikenang sebagai pengembara yang menemukan makna hidup, bukan di ujung dunia, tetapi di setiap langkah yang diambilnya.

 

Chapter one

Malam telah larut ketika Arsal memutuskan untuk bermalam di sebuah desa kecil bernama Lembah Surya. Angin malam menyusup di antara celah-celah daun, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di kejauhan, kunang-kunang menari dalam gelap, menjadi lentera kecil yang seakan menuntun langkah pengembara itu.

Penduduk desa menyambutnya dengan ramah. Kepala desa, seorang pria paruh baya bernama Pak Jaya, mempersilakan Arsal untuk beristirahat di rumah panggungnya yang hangat. "Besok pagi ada pesta panen, kau harus tinggal dan melihatnya," ujar Pak Jaya dengan senyum bersahabat.

Arsal yang sudah lelah hanya mampu mengangguk sambil tersenyum. Ia menikmati segelas wedang jahe yang disuguhkan dan segera terlelap di tikar pandan yang harum.

Fajar di Lembah Surya

Keesokan paginya, suara riuh penduduk desa membangunkan Arsal. Ia keluar rumah dan melihat perempuan-perempuan desa menyiapkan anyaman bambu untuk tempat hasil panen. Anak-anak berlarian dengan wajah ceria, sementara para pria mengangkat karung berisi padi emas yang baru dipanen.

“Selamat pagi, Pengembara!” sapa seorang pemuda bertubuh tegap. “Aku Bayu. Mari, ikut kami ke ladang,” ajaknya penuh semangat.

Arsal mengikuti Bayu melewati jalan setapak yang dibatasi pohon-pohon kelapa. Ladang terbentang luas di hadapan mereka, berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Para petani bekerja dengan penuh semangat, mencabut batang-batang padi yang telah menguning.

“Di sini kami percaya,” kata Bayu sambil memandang ladang dengan penuh kebanggaan, “bahwa setiap butir padi membawa doa dan kerja keras. Tanah ini telah memberi kami kehidupan, dan kami harus menjaganya.”

Mendengar itu, Arsal terdiam sejenak. Perjalanan panjangnya telah membawanya ke banyak tempat, namun jarang ia temui orang-orang yang begitu terhubung dengan alam seperti di Lembah Surya.

Pesta Panen dan Pelajaran Baru

Saat matahari mulai condong ke barat, pesta panen dimulai. Di tengah lapangan desa, panggung sederhana didirikan. Penduduk berkumpul dengan wajah cerah. Ada tarian tradisional yang memeriahkan suasana, iringan musik gamelan yang menggema di udara, serta hidangan lezat dari hasil bumi mereka.

Pak Jaya berdiri di tengah keramaian. “Hari ini kita merayakan hasil kerja keras kita bersama. Namun jangan lupa, panen ini bukan hanya milik kita, tetapi juga titipan untuk generasi mendatang.”

Kata-kata itu menggema dalam benak Arsal. Ia menyadari bahwa perjalanan bukan hanya tentang apa yang ditemui di luar, tetapi juga apa yang tumbuh di dalam hati.

Ketika malam tiba dan bintang-bintang menghiasi langit, Arsal duduk di pinggir ladang bersama Bayu. “Bayu,” ujar Arsal perlahan, “kau dan penduduk desa ini telah mengajarkanku sesuatu yang penting.”

“Apa itu, Kak Arsal?” tanya Bayu penasaran.

“Bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang menghargai setiap proses, seperti kalian menghargai tanah dan padi ini. Tidak semua perjalanan harus jauh untuk menemukan kebijaksanaan,” jawab Arsal.

Bayu tersenyum. “Kau benar, Kak. Tapi bukankah perjalananmu ke desa ini juga bagian dari takdirmu?”

Arsal tertawa kecil. “Mungkin begitu. Alam selalu punya cara untuk menuntun kita ke tempat yang seharusnya.”

Di bawah langit malam yang penuh bintang, Arsal merasa hatinya semakin penuh dengan makna. Perjalanan ini belum usai, namun setiap perhentian seperti di Lembah Surya memberikan warna baru dalam hikayat hidupnya.

Dengan tekad yang diperbarui, ia tahu bahwa esok pagi akan menjadi awal langkah berikutnya, menuju tempat-tempat baru yang menanti untuk dijelajahi.

 

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel