Angin senja mengelus lembut hamparan lavender di kaki bukit. Seperti laut ungu yang berayun perlahan, mereka membisikkan rahasia kepada waktu. Di antara deretan batangnya yang ramping, seorang perempuan berdiri diam, seakan angin tengah membentuk bayangannya dari kelopak yang gugur.
Namanya Rania. Baginya, lavender bukan sekadar bunga. Ia adalah penjaga ingatan, utusan dari masa lalu yang tetap setia mengantarkan pesan-pesan sunyi. Bertahun-tahun lalu, di tempat yang sama, seseorang pernah berkata padanya, "Jika suatu hari aku tiada, carilah aku di antara lavender. Aku akan tetap di sana, dalam wangi yang tak luruh."
Waktu melarikan banyak hal, tapi tidak dengan aroma. Rania belajar bahwa wangi adalah bentuk keabadian yang paling lembut. Setiap helai bunga yang ia sentuh adalah surat yang tak pernah dibaca, setiap embusan angin yang membawa harumnya adalah napas yang tak pernah habis.
Dulu, di bawah sinar bulan yang lembut, ia dan lelaki itu duduk di antara bunga-bunga ini, berbicara dalam sunyi yang dipenuhi makna. "Lavender itu setia," katanya waktu itu. "Meski layu, wanginya tetap bertahan." Kini, ia memahami maksudnya lebih dalam. Setiap helai lavender adalah kenangan yang enggan terhapus, sekalipun waktu berusaha mengikisnya perlahan.
Langit memerah ketika Rania berlutut, membiarkan tangannya menyentuh kelopak-kelopak mungil yang merekah. Ia menutup mata, membiarkan dirinya tersesat dalam kenangan, dalam wangi yang membawa suara dari masa lalu.
Mungkin benar, ada cinta yang tak memudar, hanya berubah bentuk. Tidak lagi dalam genggaman tangan, tetapi dalam bisikan angin. Tidak lagi dalam tatapan mata, tetapi dalam harum bunga yang tak pernah benar-benar pergi. Lavender telah menjadi jembatan antara yang ada dan yang tiada, mengikat dua dunia dengan simpul keharuman yang tak luruh.
Rania tersenyum tipis. Ia tahu kini, selama lavender masih bermekaran, ia tidak pernah benar-benar sendirian.