Langkah-langkah Yusuf menggema di lorong sempit
yang dipenuhi bayangan. Ia tidak tahu bagaimana bisa sampai di tempat ini. Yang
ia ingat, ia tertidur setelah lelah dengan rutinitasnya yang penuh keluhan dan
ketidakpuasan. Namun, kini ia berdiri di tengah lorong panjang yang tak
berujung.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara lembut,
"Setiap manusia memiliki perjalanan yang telah ditetapkan. Namun, apakah
kau sudah memahami tujuanmu?"
Yusuf menoleh ke segala arah, namun tidak ada
siapa pun. Hanya lorong yang semakin panjang dan redup. Ia melangkah perlahan,
hingga menemukan pintu pertama dengan cahaya temaram. Saat ia membukanya,
tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, dan pemandangan di depannya berubah.
Ia melihat dirinya sendiri di masa lalu—seorang
pemuda yang giat menuntut ilmu, tetapi sering merasa kurang bersyukur. Ia
melihat bagaimana dirinya pernah menyia-nyiakan waktu, lebih sering mengeluh
daripada berusaha. Matanya mulai basah. "Ya Allah, betapa aku telah
menyia-nyiakan nikmat-Mu," gumamnya.
Tiba-tiba, suara lembut tadi kembali terdengar,
"Apakah kau ingin terus mengulang kesalahan atau belajar darinya?"
Yusuf menundukkan kepala. "Aku ingin
berubah."
Ia melanjutkan perjalanan, membuka pintu kedua.
Kini, ia melihat ibunya yang renta, tengah mendoakannya dengan air mata yang
berlinang. Yusuf terpaku. Ia ingat bagaimana ia sering mengabaikan panggilan
ibunya demi urusan dunianya. Sesak memenuhi dadanya.
"Kebahagiaanmu ada dalam ridha orang
tuamu," bisik suara itu lagi. "Sudahkah kau membalas kasih sayang mereka?"
Yusuf terisak. "Belum. Aku ingin pulang,
ingin memohon maaf dan berbakti."
Lorong itu semakin terang. Yusuf berjalan menuju
pintu terakhir, yang memancarkan cahaya paling benderang. Saat membukanya, ia
terbangun di atas sajadahnya. Air matanya masih mengalir.
Tanpa ragu, ia segera sujud dan memohon ampun
kepada Allah. Ia sadar, waktu yang Allah berikan adalah kesempatan untuk
memperbaiki diri, dan ia tidak ingin menyia-nyiakannya lagi.
Hari itu, Yusuf melangkah keluar rumah dengan
semangat baru, berniat menjalani hidup dengan penuh syukur dan keikhlasan.
Sebab, lorong waktu telah mengajarkan satu hal berharga: kehidupan bukan
tentang seberapa jauh kita melangkah, tetapi seberapa banyak kita kembali
kepada-Nya.