menu melayang

Rabu, 13 Agustus 2025

Apa dan Bagaimana Pencegahan Perilaku Toxic di Tempat Kerja



Oleh : Sugandi Miharja, Ph.D


Tempat kerja idealnya menjadi ruang produktif yang mendorong kolaborasi, inovasi, dan kesejahteraan karyawan. Namun, realitas sering menunjukkan fenomena perilaku negatif atau toxic, seperti ngedumel (menggerutu), ghibah (menggunjing), bahkan fitnah. Perilaku ini tidak hanya mengganggu hubungan antarindividu, tetapi juga merusak budaya organisasi dan menurunkan produktivitas. Oleh karena itu, memahami asal mula dan strategi pencegahan perilaku toxic sangat penting, terutama dengan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan nilai Islam, Psikologi, Sosiologi, dan Komunikasi.


Asal Mula Perilaku Toxic di Tempat Kerja


Dalam Islam, akar dari perilaku toxic bersumber dari penyakit hati seperti iri dengki, kebencian, dan tidak mampu menjaga lisan. Allah melarang ghibah dalam QS. Al-Hujurat: 12


 وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat: 12)


Rasulullah ﷺ juga bersabda


 لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba” (HR. Muslim). Perilaku toxic sering lahir dari kurangnya keimanan, kesabaran, dan rasa syukur, serta lemahnya adab bekerja sesuai ajaran Islam.


Psikologi menjelaskan perilaku toxic sebagai dampak dari gangguan regulasi emosi dan stres kerja. Tekanan target, konflik peran, atau ketidakjelasan pekerjaan memicu keluhan berulang (ngedumel). Sementara ghibah dan fitnah kerap menjadi mekanisme kompensasi untuk menutupi rasa rendah diri atau mendapatkan pengakuan sosial. Faktor lain termasuk pengalaman trauma, masalah pribadi yang terbawa ke tempat kerja, dan kurangnya keterampilan manajemen emosi.


Dari sisi sosiologi, perilaku toxic sering muncul karena budaya organisasi yang tidak sehat. Ketika sistem penghargaan tidak adil, pemimpin bersikap otoriter, atau terjadi persaingan tidak sehat, muncul konflik antar kelompok dan gosip dijadikan senjata sosial. Selain itu, kurangnya norma dan sanksi sosial memperkuat perilaku negatif karena tidak ada kontrol yang jelas dalam lingkungan kerja.


Komunikasi yang buruk, tidak terbuka, dan penuh miskomunikasi juga menjadi sumber perilaku toxic. Ketika karyawan tidak memiliki saluran formal untuk menyampaikan aspirasi, gosip menjadi jalur komunikasi alternatif. Kurangnya keterampilan komunikasi asertif, penggunaan bahasa agresif, serta minimnya budaya klarifikasi (tabayyun) memperbesar potensi kesalahpahaman dan fitnah.


Strategi Pencegahan Perilaku Toxic di Tempat Kerja


Dalam perspektif Islam perlu pembinaan spiritual seperti shalat berjamaah, dzikir, dan kajian adab bekerja untuk membersihkan hati. Dalam Tabayyun dapat mengklarifikasi informasi sebelum disebarkan. Budaya salam dan doa dapat menumbuhkan kasih sayang dan ukhuwah dalam interaksi kerja. Penerapan nilai amanah ini mengingatkan bahwa setiap ucapan dan perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.


Dalam keilmuan psikologi, manajemen dapat agendakan Pelatihan kecerdasan emosional (EQ) yang membantu karyawan mengendalikan emosi dan stres. Sesi konseling profesional memberi ruang aman untuk mengeluh tanpa ghibah. Peningkatan rasa percaya diri dengan mengurangi kebutuhan menjatuhkan orang lain. Penghargaan positif, mendorong perilaku baik dan menekan perilaku negatif.


Dalam sudut pandang sosiologi perlu membangun budaya organisasi positif, seperti transparansi, keadilan, dan saling menghormati. Kode etik anti-ghibah dan fitnah dengan dilengkapi sanksi tegas. Kegiatan team building dengan memperkuat solidaritas positif, bukan permusuhan. Musyawarah penyelesaian konflik secara terjadwal, dapat menggantikan gosip sebagai sarana pelampiasan.


Sumbangan Perspektif Komunikasi, menyarankan perlunya saluran komunikasi formal, seperti forum diskusi, kotak saran, dan rapat terbuka. Pelatihan komunikasi asertif untuk menyampaikan pendapat tanpa merendahkan orang lain. Budaya klarifikasi untuk mencegah penyebaran rumor dan fitnah. Penggunaan bahasa positif dalam bentuk foster dan slogan pengingat etika berbicara.


Penutup


Perilaku toxic di tempat kerja adalah fenomena multidimensional yang tidak hanya dipengaruhi faktor individu, tetapi juga sistem dan budaya organisasi. Islam memberikan dasar moral dan spiritual, psikologi menekankan kesehatan mental, sosiologi menggarisbawahi pengaruh struktur sosial, dan komunikasi menyediakan jalur interaksi yang sehat. Pencegahan perilaku toxic memerlukan pendekatan holistik, menggabungkan keempat perspektif tersebut agar lingkungan kerja menjadi harmonis, produktif, dan bernilai ibadah.

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel