Oleh : H.S. Miharja, Ph.D
Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari belenggu penjajahan fisik, tetapi juga dari perbudakan batin, ketergantungan kepada selain Allah, perbudakan hawa nafsu, dan keterikatan pada sistem yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Islam, dzikir adalah sumber energi spiritual yang membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tersebut. Melalui dzikir, manusia memulihkan martabatnya sebagai hamba Allah yang merdeka, mulia, dan berperan aktif membangun peradaban.
Hakikat Dzikir sebagai Pembebasan Jiwa
Dzikir, secara bahasa berarti mengingat, menyebut, dan memuji Allah. Secara hakikat, dzikir adalah kesadaran penuh akan kehadiran Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Ketika seorang hamba menghidupkan dzikir, ia terbebas dari penghambaan kepada makhluk, kekuasaan, atau materi.
Dzikir menyalakan kehidupan hati, sehingga manusia mampu berpikir dan bertindak dengan kemerdekaan moral yang berpijak pada kebenaran.
Dzikir adalah jalan menuju kehidupan hati yang merdeka. Rasulullah ﷺ bersabda
سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ
Para mufarridun telah mendahului. Para sahabat bertanya, Siapakah mufarridun itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ
Orang-orang yang banyak mengingat Allah, baik laki-laki maupun perempuan. (HR. Muslim)
Mereka yang tenggelam dalam dzikir selalu berada selangkah lebih maju bukan hanya dalam urusan akhirat, tetapi juga dalam keteguhan jiwa di dunia.
Dzikir dan Kemerdekaan dari Perbudakan Nafsu
Banyak bangsa merdeka secara politik, tetapi terbelenggu oleh kerakusan, ketidakadilan, dan hedonisme. Dzikir melatih manusia mengendalikan diri, memutus rantai perbudakan nafsu, serta menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Dengan La ilaha illallah, seorang Muslim menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, sehingga ia tidak tunduk pada kezaliman maupun tirani hawa nafsu.
Kemartabatan Umat Manusia dalam Perspektif Dzikir
Martabat manusia dalam Islam bersumber dari kemuliaan yang Allah anugerahkan, sebagaimana firman-Nya
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS. Al-Isra’: 70)
Kemuliaan ini terjaga ketika manusia hidup sesuai fitrahnya. Ia mengabdi kepada Allah dan menebar kebaikan di bumi. Dzikir menjadi benteng yang menjaga martabat ini, karena ia mengikat manusia dengan nilai-nilai Ilahi yang memuliakan semua umat tanpa diskriminasi.
Dzikir Kemerdekaan untuk Kemartabatan Umat Manusia
Peradaban yang sejati adalah peradaban yang dibangun di atas fondasi tauhid. Sejarah mencatat, umat Islam mencapai puncak kejayaan ketika dzikir dan pikir berjalan beriringan. Spiritualitas yang kokoh menyatu dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dzikir memerdekakan pikiran dari kebodohan, memerdekakan ekonomi dari ketamakan, dan memerdekakan politik dari tirani, sehingga tercipta tatanan yang adil dan bermartabat.
Menghidupkan Dzikir Kemerdekaan di Era Modern
Di tengah globalisasi, kemerdekaan umat menghadapi ancaman baru, berupa penjajahan budaya, ketergantungan teknologi, dan degradasi moral. Dzikir kemerdekaan berarti menghidupkan kesadaran kolektif untuk menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidup, lalu menerjemahkannya ke dalam perilaku sosial, ekonomi, dan politik yang menegakkan keadilan dan menghargai kemanusiaan.
Penutup
Dzikir kemerdekaan adalah jalan pembebasan total, lahir dan batin yang mengantarkan manusia pada kemartabatan sejati. Ia membebaskan dari perbudakan fisik, membebaskan hati dari penghambaan kepada selain Allah, dan membangun peradaban yang menghormati martabat setiap insan. Ketika dzikir menjadi napas kehidupan, umat manusia akan hidup dalam keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian yang hakiki.