Oleh : H.S. Miharja, Ph.D
Pernahkah kita merasa lelah mengejar pengakuan manusia? Pernahkah kita merasa takut kehilangan harta, kedudukan, atau kasih sayang dari sesama? Kadang, tanpa kita sadari, jiwa kita terikat oleh sesuatu yang rapuh. Kita merasa merdeka secara fisik, tetapi batin kita masih menjadi tawanan. Kita bebas melangkah ke mana saja, namun hati kita masih dikendalikan oleh takut dan harap kepada selain Allah.
Padahal, kebebasan yang sejati bukan sekadar lepas dari belenggu luar, tetapi lepas dari belenggu batin. Dan kemerdekaan itu hanya bisa kita raih ketika kita memahami makna yang terkandung dalam Surat Al-Ikhlāṣ:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌۚ
اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 1–4)
Tauhid sebagai Pondasi Kemerdekaan Jiwa
Surat Al-Ikhlāṣ adalah inti dari seluruh ajaran tauhid. Ia mengajarkan bahwa hanya Allah yang patut menjadi sandaran hidup. Dialah sumber kekuatan, pemilik segala sesuatu, dan pemberi segala nikmat. Ketika keyakinan ini tertanam kokoh, kita terbebas dari keterikatan pada manusia dan materi.
Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang tidak meletakkan harga dirinya pada pujian manusia. Ia tidak terikat pada gemerlap dunia, karena tahu semuanya hanyalah titipan. Ia tidak cemas kehilangan, karena yakin bahwa Allah adalah Ash-Shamad tempat bergantung yang tak pernah mengecewakan.
Ciri-Ciri Jiwa Merdeka
Jiwa yang merdeka sadar sepenuhnya maksud penciptaan dirinya, dan bagaimana kemudian hati berlabu. Pertama tauhid yang murni, hanya Allah yang menjadi sumber kekuatan dan tujuan hidup. Mental yang mandiri, tidak menunggu arahan untuk berbuat kebaikan, tidak bergantung pada pujian untuk bergerak. Kaya hati, merasa cukup (qanā‘ah) dengan apa yang ada, tanpa iri pada apa yang dimiliki orang lain. Berjiwa memberi, yakin bahwa rezeki tidak akan berkurang karena berbagi, justru bertambah dengan keberkahan.
Kemerdekaan yang Menghidupkan
Jiwa merdeka akan hidup dengan ketenangan. Ia tidak mudah dikuasai amarah, tidak tergoda keserakahan, dan tidak goyah oleh tekanan sosial. Ia memandang dunia sebagai ladang amal, bukan sebagai tujuan akhir. Ia bisa tersenyum di tengah kekurangan, bisa berbagi di tengah kesempitan, dan bisa melangkah tanpa takut masa depan, karena masa depan ada di tangan Allah.
Penutup
Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang tak lagi diikat oleh rantai dunia,
yang berdiri tegak di tengah badai, karena sandarannya hanya pada Yang Maha Esa.
Ia tahu, segala milik hanyalah titipan,
dan segala kehilangan hanyalah jalan pulang kepada Tuhan.
Ia menatap dunia dengan senyum yang lapang, memberi tanpa takut berkurang, memaafkan tanpa menunggu balasan, dan melangkah tanpa menoleh pada pujian atau caci maki.
Seperti matahari yang bersinar tanpa menagih terima kasih, seperti air yang mengalir tanpa meminta balas budi, jiwa merdeka itu hidup untuk memberi, karena ia yakin: “Hasbiyallāh” Cukuplah Allah bagiku.