Oleh : H.S. Miharja, Ph.D
Merdeka sering dipahami sebagai kebebasan berbicara, kebebasan menyampaikan pendapat, atau kebebasan mengekspresikan diri. Namun, apakah merdeka hanya berarti berbicara? Bagaimana dengan diam, apakah itu juga sebuah bentuk kemerdekaan? Pertanyaan ini mengajak kita merenung lebih dalam, tidak hanya dari kacamata psikologi modern, tetapi juga dari tuntunan religius yang telah diwariskan.
Pilihan yang Sadar Adalah Merdeka
Dalam perspektif psikologi, kemerdekaan terletak pada kemampuan memilih dengan sadar. Seorang individu yang berbicara karena kejujuran hati, keberanian, dan kesadaran diri adalah individu yang merdeka. Ia tidak terbelenggu oleh ketakutan akan penilaian orang lain. Sebaliknya, ada kalanya diam justru merupakan bentuk kendali diri yang lebih luhur. Diam yang penuh kesadaran, yang dalam psikologi disebut mindful silence, adalah tanda kedewasaan emosi.
Namun, bila diam lahir dari rasa takut, tekanan sosial, atau kehilangan keberanian, maka ia bukan lagi kemerdekaan, melainkan belenggu. Demikian juga ekspresi yang lahir dari keterpaksaan atau sekadar mengikuti arus, sejatinya bukan tanda merdeka, melainkan keterikatan yang samar.
Hikmah Bicara dan Diam
Islam menempatkan kata-kata dan keheningan dalam bingkai yang sama: hikmah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukanlah berbicara sebanyak mungkin, melainkan memilih antara kata yang baik atau diam yang menenangkan.
Bahkan dalam kisah Maryam ‘alaihas-salam, Allah memerintahkannya untuk berpuasa dari berbicara setelah melahirkan:
فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَـٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Katakanlah: Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26).
Diam dalam momen itu adalah ibadah, sebuah bentuk kepasrahan dan kemerdekaan dari tuntutan sosial yang penuh syak wasangka.
Kebebasan dalam Hikmah
Maka, berekspresi dan diam bukanlah lawan, melainkan dua wajah dari satu hakikat. Kemerdekaan yang disertai kesadaran. Berekspresi dengan bijak adalah merdeka, dan diam dengan penuh hikmah juga merdeka. Yang membedakan hanyalah dasar pilihan itu, apakah ia lahir dari keikhlasan, atau dari tekanan dan ketakutan.
Kemerdekaan sejati adalah saat seseorang mampu berkata “ya” atau “tidak,” berbicara atau diam, dengan penuh kesadaran akan nilai, hikmah, dan tanggung jawab. Karena pada akhirnya, kebebasan bukan soal banyaknya kata yang keluar dari lisan, melainkan sejauh mana hati terbebas dari belenggu yang membatasi nurani.