Oleh : Sugandi Miharja,
Ph.D
Agnostik sering
dipahami sebagai posisi skeptis terhadap keberadaan Tuhan. Ia bukan penolakan
seperti ateisme, tetapi keraguan yang jujur dan terbuka. Namun dalam sejarah
dan pengalaman spiritual banyak orang, keraguan ini sering menjadi pintu awal
pencarian makna hidup yang lebih dalam. Dalam konteks ideologi, kita juga
menyaksikan banyak individu atau bahkan masyarakat yang beranjak dari faham
materialisme-komunis menuju kesadaran religius, khususnya Islam.
Agnostik berasal dari
bahasa Yunani a (tidak) dan gnosis (pengetahuan), berarti "tidak
tahu". Seorang agnostik mengakui keterbatasan akalnya dalam memastikan
keberadaan Tuhan, namun tidak serta merta menolaknya. Sikap ini pada dasarnya
bisa menjadi lahan subur untuk menumbuhkan kesadaran spiritual.
Agnostik cenderung
pencari, mereka ingin bukti, makna, dan kejelasan. Mereka sering mempertanyakan
esensi kehidupan, kematian, dan moralitas. Banyak agnostik berubah keyakinan
ketika berhadapan langsung dengan pengalaman eksistensial atau spiritual.
Materialisme Komunisme
sebagai Sistem Keyakinan
Komunisme sebagai paham
politik dan ekonomi terlahir dari kritik terhadap ketimpangan sosial. Namun,
sebagai ideologi, komunisme juga membawa paham ateistik-materialistik. Mereka
tidak mengakui keberadaan Tuhan, agama dianggap "candu masyarakat"
(Marx), segala hal dijelaskan melalui materi dan konflik kelas.
Namun seiring waktu,
banyak pemikir dan individu yang menyadari bahwa komunisme gagal memberi
jawaban utuh tentang makna hidup, nilai moral, dan kedamaian batin.
Kenyataannya banyak
pemikir komunis, seperti Roger Garaudy (Prancis), yang akhirnya berpindah ke
Islam karena menemukan kekosongan spiritual dalam komunisme. Ia mengatakan
bahwa dalam Islam, ia menemukan “Tuhan yang tidak menindas manusia, melainkan memuliakannya.”
Pencarian dan
Pencerahan dari Agnostik ke Islam
Dalam perjalanan
pencarian itu, pertanyaan-pertanyaan eksistensial mulai muncul. Siapa saya dan
untuk apa saya hidup? Apa yang terjadi setelah mati Apakah keadilan sejati
mungkin tanpa Tuhan?
Banyak orang yang
kemudian menjumpai Islam bukan sebagai doktrin dogmatis, tetapi sebagai jalan
hidup yang rasional sekaligus spiritual.
Islam menjawab keraguan
dengan tauhid keesaan Tuhan yang sederhana dan logis. Wahyu (Al-Qur’an) berisi
pengetahuan, sejarah, moral, dan petunjuk kehidupan. Rasul teladan manusia yang
membumi. Akhirat memberi makna pada penderitaan dan keadilan abadi.
Transformasi dari
Materialisme ke Religiusitas
Perubahan ini bukan
hanya terjadi pada tingkat personal, tapi juga kolektif. Contohnya banyak
negara bekas Soviet yang kini mengalami kebangkitan spiritual Islam. Di
Indonesia, sebagian aktivis eks-Marxis atau sosialis dapat menjadi tokoh dakwah
Islam.
Faktor-faktor
transformasi ini kegagalan ideologi materialistik dalam menjawab kebutuhan
jiwa. Mereka tertarik pada sistem nilai Islam yang adil dan manusiawi. Juga
lengalaman batin dan krisis hidup yang membuka hati untuk menerima agama.
Penutup, Keraguan
sebagai Awal Iman
Keraguan (doubt) bukan
musuh iman, tapi bagian dari jalan menuju keyakinan. Justru dalam pergulatan
akal dan jiwa, manusia menemukan kedalaman spiritual. Islam hadir bukan untuk
menolak logika, tetapi untuk menyempurnakannya dengan wahyu.
"فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ"
“Maka ketahuilah bahwa
tiada Tuhan selain Allah” (QS. Muhammad: 19). Kata "ketahuilah"
(fa'lam) menunjukkan bahwa iman dalam Islam dibangun di atas ilmu dan
pencarian, bukan sekadar warisan. Ruang Bertanya, Ruang Bertumbuh. Dari
keraguan agnostik hingga kepasrahan religius, manusia tidak statis. Islam
memberi ruang bagi orang yang bertanya, asal ia ikhlas mencari kebenaran. Dan
sebagaimana Allah berjanji:
"وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا"
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk (mencari) keridhaan Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)