Oleh : H.S. Miharja, Ph.D
Awal bulan Muharram
bukan hanya penanda dimulainya kalender baru dalam Islam, tetapi juga momentum
sakral untuk muhasabah merenungi jejak hidup yang telah ditempuh, dan merancang
arah langkah menuju masa depan yang lebih bernilai. Muharram bukan sekadar nama
bulan, tetapi pintu spiritual untuk membuka lembaran baru, menyatukan potensi
diri hari ini untuk menyongsong masa depan, bukan hanya di dunia, tetapi hingga
akhirat.
Dalam perspektif Islam,
waktu bukan sekadar aliran detik yang tak kembali, tetapi amanah besar dari
Allah. Maka, saat Muharram tiba, ia mengajak kita untuk berhijrah secara
batiniah berpindah dari kelalaian menuju kesadaran, dari kemalasan menuju
kesungguhan, dari hidup tanpa arah menuju hidup dengan bermisi religi.
Setiap insan diberikan
potensi oleh Allah berupa akal, hati, tenaga, waktu, dan kepribadian yang unik.
Potensi itu bukan untuk disia-siakan, melainkan untuk diolah dan ditumbuhkan
hari ini demi keberhasilan esok. Allah berfirman:
"إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ"
“Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada
diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Maka, perubahan besar
masa depan harus dimulai dengan pengelolaan potensi yang ada pada masa kini.
Inilah saatnya menjadikan Muharram bukan hanya sebagai bulan kalender, tapi
sebagai pemicu spiritual untuk menyusun agenda perubahan diri.
Langkah pertama adalah
membangun kesadaran diri (tafakkur dan muhasabah). Setiap pribadi Muslim diajak
untuk melihat ke dalam: apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan
tantangan hidupnya? Dalam tasawuf, ini disebut ma’rifat an-nafs (mengenal diri)
sebagai jalan menuju ma’rifatullah (mengenal Allah). Potensi akal, emosi, iman,
dan kemampuan sosial dibaca ulang sebagai ladang amal.
Kemudian, kita perlu
meluruskan niat. Dalam Islam, niat adalah awal dari segala amal. Memasuki tahun
baru hijriyah harus disertai niat yang diperbaharui. menjadikan seluruh
aktivitas hidup sebagai ibadah dan bentuk pengabdian kepada Allah. Dengan niat
yang lurus, setiap upaya membangun masa depan menjadi bernilai ukhrawi.
Selanjutnya, kita perlu
memetakan potensi dan merancang aksi. Dalam psikologi modern, ini dikenal
sebagai pengembangan diri. Dalam Islam, pengembangan diri dilakukan dengan
dasar iman, nilai sabar, syukur, dan tawakal. Potensi yang dimiliki ditata
dalam rencana harian, mingguan, hingga tahunan, berlandaskan nilai tauhid dan
integritas.
Teknik-teknik sederhana
dapat dilakukan sejak hari ini. Membuat time block yang mengatur waktu belajar,
bekerja, ibadah, dan silaturahmi. Menulis jurnal syukur harian agar hati tetap
jernih dan positif. Menyusun peta jalan hidup 5–10 tahun ke depan agar potensi
tidak menguap sia-sia.
Namun semua itu tak
cukup jika dilakukan sendirian. Islam mengajarkan pentingnya dukungan sosial
dan lingkungan yang shalih. Maka, awal tahun hijriyah ini adalah saat yang
tepat untuk membangun jaringan ukhuwah, bergabung dengan komunitas positif,
memperkuat relasi spiritual dan sosial, serta menjadikan rumah dan pergaulan
kita sebagai taman kebaikan.
Kunci utama dari semua
langkah ini adalah istiqamah. Dalam menghadapi perubahan dan ujian hidup, hanya
mereka yang sabar dan terus melangkah yang akan sampai pada keberhasilan. Allah
SWT berjanji dalam QS. Fussilat ayat 30, bahwa orang-orang yang istiqamah akan
diberi keteguhan di dunia dan akhirat.
Dan akhirnya, setiap
bulan, terutama di bulan-bulan mulia seperti Muharram, kita perlu melakukan
evaluasi diri. Apa yang sudah dicapai, apa yang masih tertunda, dan bagaimana
memperbaikinya. Evaluasi ini dilakukan dengan cara spiritual dengan dzikir,
doa, dan membaca kembali jejak amal. Kisah hijrah Nabi, perjuangan para
sahabat, dan ketekunan para ulama menjadi pelita untuk membimbing langkah kita.
Muharram adalah titik
tolak. Potensi kita hari ini adalah benih. Rencana kita adalah alat bercocok
tanam. Kesungguhan kita adalah airnya. Dan masa depan, adalah panen yang Allah
janjikan bagi mereka yang bekerja keras dengan niat ikhlas.
“Barang siapa yang
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kini saatnya, di awal
tahun hijriyah ini, kita bertanya bukan hanya apa yang ingin kita capai, tapi
siapa kita ingin menjadi, dan apa bekal yang kita bawa saat kembali pada-Nya.
Inilah momen suci untuk berhijrah secara maknawi. Dari potensi menjadi amal, dari
niat menjadi tindakan, dari masa kini menjadi masa depan penuh berkah.